GENERASI
Generasi Muda adalah arti populasi
remaja/anak muda/pemuda yang sedang membentuk dirinya.
Melihat kata "Generasi
muda" yang terdiri dari dua kata yang majemuk, kata yang kedua adalah
sifat atau keadaan kelompok individu itu masih berusia muda dalam kelompok usia
muda yang diwarisi cita-cita dan dibebani hak dan kewajiban, sejak dini telah
diwarnai oleh kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dan kegiatan politik. Maka dalam
keadaan seperti ini generasi muda dari suatu bangsa merupakan "Young
Citizen".
Pengertian generasi muda erat
hubungannya dengan arti generasi muda sebagai generasi penerus.
Yang dimaksud "Generasi
Muda" secara pasti tidak terdapat satu definisi yang dianggap paling tepat
akan tetapi banyak pandangan yang mengartikannya tergantung dari sudut mana
masyarakat melihatnya. Namun dalam rangka untuk pelaksanaan suatu program pembinaan
bahwa "Generasi Muda" ialah bagian suatu generasi yang berusia 0 – 30
tahun.
Untuk lebih dapat mengidentifikasi
pengertian, ciri dan aspek yang terkandung dalam dalam Generasi Muda yaitu:
- Dilihat dari segi biologis, ada istilah bayi, anak, remaja, pemuda dan dewasa.
anak 1- 12 tahun
|
|
remaja 12 - 15 tahun
|
|
pemuda 15- 30 tahun
|
|
dewasa 30 tahun ke atas
|
- Dilihat dari segi budaya atau fungsional dikenal istilah anak, remaja dan dewasa
anak 0-12 tahun
|
|
remaja 13-18 tahun
|
|
dewasa 18-21 tahun ke atas
|
usia 18 tahun sudah dianggap dewasa,
usia ini dalam menuntut hak seperti hak pilih, ada yang mengambil 21 tahun
sebagai permulaan dewasa. Dilihat dari segi psikologis dan budaya, maka
pematangan pribadi ditentukan pada usia 21 tahun.usia 18 tahun sudah dianggap
dewasa, usia ini dalam menuntut hak seperti hak pilih, ada yang mengambil 21
tahun sebagai permulaan dewasa. Dilihat dari segi psikologis dan budaya, maka
pematangan pribadi ditentukan pada usia 21 tahun.
- Jika dilihat dari angkatan kerja ditemukan istilah tenaga muda disamping tenaga tua. Tenaga muda adalah calon-calon yang dapat diterima sebagai tenaga kerja yang diambil antara 18 sampai 22 tahun.
- Untuk kepentingan perencanaan modern digunakan istilah sumber-sumber daya manusia muda (Young human resources) sebagai salah satu dari 3 sumber-sumber pembangunan yaitu:
sumber-sumber alam (natural
resources)
|
|
sumber-sumber dana (financial
resources)
|
|
sumber-sumber daya manusia (human
resources)
|
Yang dimaksud dengan sumber-sumber
daya manusia muda adalah dari 0 – 18 tahun.
- Dilihat dari sudut ideologis-politis, maka generasi muda adalah calon pengganti generasi terdahulu dalam hal ini berumur antara 18 sampai 30 tahun, dan kadang-kadang sampai umur 40 tahun.
- Pengertian pemuda berdasarkan umur dan lembaga serta ruang lingkup tempat pemuda berada. Diperoleh 3 kategori:
Siswa usia antara 6 – 18 tahun,
yang masih ada dibangku sekolah.
|
|
Mahasiswa di Universitas atau
perguruan tinggi, yang berusia antara 18-21 tahun.
|
|
Pemuda di luar lingkungan sekolah
maupun perguruan tinggi yang berusia antarea 15-30 tahun.
|
Mendidik Keluarga Menjadi Generasi Rabbani
Semua
masyarakat yang beriman mendambakan generasi masa depan adalah generasi
rabbani. Bahkan mereka sendiri berharap bisa menjadi generasi rabbani itu
sendiri. Karena semua sadar, bahwa label ‘rabbani’ menggambarkan generasi emas
umat islam. Bagaimanakah cara mewujudkan generasi idaman ini?…
Pengertian istilah “Rabbani”
Dalam banyak kesempatan pidato atau ceramah yang bertajuk kepemudaan, tidak
lepas dari istilah ini. Namun, seolah sudah menjadi kebiasaan masyarakat,
mereka yang mendengarkan istilah baru, hanya terkadang ditelan ‘mentah-mentah’,
tanpa peduli maknanya. Kita berharap, semua sikap ‘menahun’ semacam ini tidak
selamanya dilestarikan, disamping itu, semoga tidak menimbulkan kesalah-pahaman
terhadap inti informasi yang disampaikan. Berikut adalah keterangan para ulama
tentang istilah ‘rabbani’, yang kami sarikan dari kitab Zaadul Masir fi Ilmi
at-Tafsir, karya Ibnul Jauzi (1/298):
Ditinjau dari tinjauan bahasa,
Ibnul Anbari menjelaskan bahwa, kata ‘rabbani’ diambil dari kata dasar Rabb,
yang artinya Sang Pencipta dan Pengatur makhluk, yaitu Allah. Kemudian diberi
imbuhan huruf alif dan nun (rabb+alif+nun= Rabbanii), untuk memberikan makna
hiperbol. Dengan imbuhan ini, makna bahasa ‘rabbani’ adalah orang yang memiliki
sifat yang sangat sesuai dengan apa yang Allah harapkan. Kata ‘rabbani’
merupakan kata tunggal, untuk menyebut sifat satu orang. Sedangkan bentuk
jamaknya adalah rabbaniyun.
Terdapat beberapa riwayat,
baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in, tentang definisi istilah: “rabbani”.
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu, beliau mendefinisikan
“rabbani” sebagai berikut: Generasi yang memberikan santapan rohani bagi
manusia dengan ilmu (hikmah) dan mendidik mereka atas dasar ilmu. Sementara
Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma dan Ibnu Zubair mengatakan: Rabbaniyun adalah
orang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya.
Qatadah dan Atha’ mengatakan:
Rabbaniyun adalah para fuqaha’, ulama, pemilik hikmah (ilmu).
Imam Abu Ubaid menyatakan,
bahwa beliau mendengar seorang ulama yang banyak mentelaah kitab-kitab,
menjelaskan istilah rabbani: Rabbani adalah para ulama yang memahami hukum
halal dan haram dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Antara Ilmu dan Seorang
‘Rabbani’
Dari semua keterangan di atas,
dapat diambil sebuah benang merah bahwa semua ulama yang menjelaskan tentang
pengertian istilah rabbani, mereka sepakat bahwa label ‘rabbani’ hanya
digunakan untuk menyebut seseorang yang memiliki sifat-sifat berikut: Pertama,
berilmu dan memiliki pengetahuan tentang al-Qur’an dan sunnah. Kedua,
mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya. Ketiga, mengajarkannya kepada
masyarakat. Sebagian ulama menambahkan sifat keempat, yaitu mengikuti pemahaman
para sahabat dan metode mereka dalam beragama. Karena sahabat merupakan standar
kebenaran bagi umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kurang dari salah satu diantara
sifat di atas, tidak dapat disebut seorang rabbani. Hal ini sebagaimana yang
diisyaratkan oleh Ibnul Arabi, ketika ditanya tentang makna ‘rabbani’, beliau
mengatakan: Apabila seseorang itu berilmu, mengamalkan ilmunya, dan
mengajarkannya maka layak untuk dinamakan seorang rabbani. Namun jika kurang
salah satu dari tiga hal di atas, kami tidak menyebutnya sebagai seorang
rabbani. (Miftah Dar as-Sa’adah, 1/124).
Antara Ilmu dan Ibadah
Inti jawaban, mengapa
seseorang itu layak dinamakan rabbani adalah karena dia telah melakukan amalan
yang sangat mendekatkan dirinya kepada Ar-Rabb (Allah), sebagaimana pengertian
‘rabbani’ dari tinjauan bahasa. Karena itu, dari keterangan para ulama di atas,
akan muncul satu pertanyaan, apa kaitan antara pengertian ulama tentang istilah
‘rabbani’ dengan makna kata ini secara bahasa. Atau dengan kata lain, apa
kaitan antara ilmu, yang menjadi syarat mutlak seorang rabbani dengan ibadah
kepada Allah?
Dijelaskan oleh Ibnul Anbari,
keterkaitannya karena ilmu merupakan bentuk ibadah kepada Allah ta’ala.
Disamping itu, seseorang hanya akan bisa melakukan ibadah kepada Allah, jika
dia memahami tata cara ibadah yang sesuai dengan apa yang Allah kehendaki.
Sehingga kata kunci dalam masalah ini adalah ‘ilmu’ (Zaadul Masir, 1/298).
Hal ini sebagaimana dikatakan
oleh Imam az-Zuhri – salah seorang ulama tabi’in –: Tidak ada satu bentuk
peribadatan kepada Allah yang lebih mulia dibandingkan ilmu. (Hilyah al-Auliya,
2/61). Demikian juga dikatakan oleh Imam Ahmad: Mencari ilmu merupakan amalan
yang paling mulia, bagi siapa saja yang niatnya benar. (Syarh Muntaha
al-Iradat, 2/26). Hal yang semisal juga dikatakan Abdullah bin Mubarak, Saya
tidak mengetahui ada sesuatu yang lebih mulia setelah nubuwah (kenabian)
melebihi kegiatan menyebarkan ilmu. (Mausu’ah ad-Din an-Nashihah, 1/301)
Menuju Generasi Rabbani
Mendidik masyarakat menjadi
generasi rabbani merupakan tanggung jawab semua orang. Karena semua manusia
memiliki tanggung jawab untuk berdakwah dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Hanya saja tanggung jawab ini bertingkat-tingkat, sesuai dengan tingkatan ilmu
dan ketaqwaan seseorang.
Untuk bisa mewujudkan genarasi
rabbani seutuhnya, agenda besar ini harus dimulai dari lingkungan belajar yang
lingkupnya paling kecil, yaitu keluarga. Karena itu, Allah perintahkan agar
kepala keluarga dengan serius memperhatikan kondisi keluarganya. Allah
berfirman (yang artinya): “Wahai orang-orang yang beriman, lindungilah diri
kalian dan keluarga kalian dari neraka…” (QS. At-Tahrim: 6). Allah gandengkan
perintah ini dengan gelar iman, menunjukkan bahwa perintah tersebut merupakan
tuntutan dan konsekwensi iman seseorang.
Dalam ayat di atas ada dua perintah.
Perintah pertama, lindungi diri kalian, yaitu dengan melaksanakan perintah dan
menjauhi larangan. Kedua, lindungi keluarga kalian, dengan memerintahkan untuk
mengamalkan kewajiban dan melarang keluarga untuk melanggar larangan. Hal ini
sebagaimana dikatakan Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu, ketika menafsirkan
ayat di atas: “Ajari mereka dan didik mereka” (Ibn Katsir, 8/167)
Untuk mewujudkan tujuan ini,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan beberapa metode dalam
mendidik keluarga:
1. Ajari mereka untuk bertauhid
: Allah berfirman menceritakan tentang wasiat yang disampaikan Nabi Ya’qub
ketika hendak meninggal dunia (yang artinya): Adakah kamu hadir ketika Ya’qub
kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang
kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan
Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa
dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” (QS. al-Baqarah: 133)
Ayat ini mengajarkan kepada
kita satu prinsip penting tentang penanaman aqidah kepada keluarga. Sebagaimana
yang kita ketahui bahwa cerita perjalanan hidup Nabi Ya’qub sangat panjang dan
merupakan cerminan akhlak terpuji. Namun penggalan cerita tentang beliau yang
Allah pilih dalam al-Qur’an adalah kisah wasiatnya kepada putra-putra. Demikian
juga yang diajarkan luqmanul hakim kepada anaknya (lihat surat Luqman 13)
2. Ajari keluarga untuk melaksanakan
shalat Dari Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Perintahkanlah anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia 7
tahun. Dan pukullah mereka untuk dipaksa shalat, ketika mereka berusia 10
tahun.”(HR. Abu Daud 495 dan dishahihkan al-Albani)
Pada asalnya hukum shalat
tidak wajib bagi anak-anak. Akan tetapi, ketika ada seorang anak meninggalkan
shalat, sementara orang tuanya tidak memerintahkannya atau memaksanya maka si
anak tidak berdosa, namun orang tuanya telah melanggar kewajiban. Karena
dirinya wajib untuk memerintahkan anaknya agar melaksanakan shalat. (lih.
Penjelasan Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, 9/348). Dan faedah lain, bahwa
perintah tersebut untuk membiasakan anak mengerjakan sholat
3. Memberikan sedikit ancaman agar
mereka tidak bermaksiat : Tujuan memberikan ancaman semacam ini adalah agar
anak tidak berani melawan orang tua atau istri melawan suami. Dari Ibnu Abbas
radliallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Gantunglah
cemeti di tempat yang bisa dilihat penghuni rumah. Karena ini akan mendidik
mereka. (HR. Thabrani dalam al-Ausath 10671 dan dihasankan oleh al-Albani)
4. Pisahkan tempat tidur antara anak
laki-laki dengan anak perempuan : Ini akan menjadi pendidikan bagi anak untuk
memahami bahwa antara laki-laki dan wanita tidak boleh campur baur. Pemisahan
ini dimulai ketika mereka menginjak usia 10 tahu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: Pisahkan tempat tidur diantara mereka (HR. Abu Daud 495 dan
dishahihkan al-Albani)
5. Memperbanyak doa untuk kebaikan
keluarga : Banyak sekali do’a yang Allah ajarkan dalam al-Qur’an, yang isinya
memohon kebaikan bagi keluarga. Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam banyak mengajarkan hal yang sama dalam hadisnya. Diantaranya adalah
sebagai berikut:
Do’a Nabi Ibrahim untuk keturunannya
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam termasuk nabi yang do’anya banyak Allah sebutkan
dalam al-Qur’an. Dan banyak do’a beliau berisi kebaikan untuk dirinya dan
keturunanya. Ini menunjukkan bahwa do’a Nabi Ibrahim adalah do’a yang istimewa
di sisi Allah. Diantara do’a beliau: “Jauhkanlah aku dan anak-anakku dari
menyembah berhala” (QS. Ibrahim: 35). Beliau juga berdo’a: “Ya Allah,
jadikanlah diriku dan keturunanku orang yang bisa menegakkan shalat. Ya Allah,
kabulkanlah do’a.” (QS. Ibrahim: 40)
Lain dari itu adalah do’a Nabi Nuh
‘alaihis salam. Beliau memohon kepada Allah agar setiap orang mukmin yang masuk
rumahnya diampuni oleh Allah. Ini akan memberi kesempatan agar keluarga kita
banyak mendapat ampunan dari Allah. Nabi Nuh berdo’a: “Yaa Allah, ampunilah
diriku, kedua orang tuaku. Ampunilah setiap orang yang masuk rumahku dalam
keadaan beriman, dan kepada seluruh orang mukmin laki-laki maupun wanita.” (QS.
Nuh: 28)
Allah juga mengajarkan, diantara doa
orang mukmin adalah, “Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri
kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam
bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Furqan: 74)