CERPEN TENTANG MANUSIA DAN KEGELISAHAN
Demi hari yang tak pernah melengos, laju lurus waktu, tak pernah mundur.
Di belahan bumi yang gelap aku duduk di atas batu pinggiran daratan luas, angin
malam menyergap kegalisahan, bulan dan bintang menemani sepi, yang sendiri.
Kelelawar seliweran, satu dari mereka menghampiriku.
“Hai orang yang gelisah. Buatlah gelisahmu jadi penasaran, itu lebih baik
agar kau mau bergerak, dari pada kau hanya berputar-putar dengan kagalisahanmu,
diam dan cuma mendengarkan cerita kegelisahmu itu.”
“Apa maksudmu, kelelawar. Apa itu kata pendahuluanmu untuk menyampaikan
sesuatu padaku, berita malam apa yang kau bawa.”
“Ya, memang. Seharusnya kau sudah bisa menebak kabar ini, karena
kegelisahanmu sudah cerita berkali-kali padamu. Di daratanmu akan acara yang
mengundang banyak orang, acara penyunting jilidan lontar seorang petapa.”
“Ya, itu aku tahu. Tapi apa yang mengharuskan kegelisahan ini ku jadikan
penasaran. Biasa sajakan, setiap acara seperti itu pasti mengundang banyak
orang dan bahkan dari luar daratan ini.”
“O, masih belum kau sadari juga cerita kegelisahmu, bahwa ada petanda yang
akan datang padamu dan petanda itu dibawa oleh seseorang dari meraka yang
datang ke acara itu, mereka yang berasal dari daratan seberang. Seseorang
itulah yang harus jadi penasaranmu yang nanti kau tunggu, kau cari, kau
temukan. Dialah yang membawa petanda itu.”
“Siapa dia, dan petanda apa yang ia bawa?”
“Carilah sendiri dan tanyakan pada dia petanda apa yang ia bawa untukmu.
Sudahlah, aku pergi, aku tak mau kau buat malam ini sia-sia untuk membicarakan
hal itu denganmu, mangsaku sedang menantiku.”
“Hai kelelawar, jangan pergi dulu!”
“Cari saja sendiri, usahalah sedikit” kelelawar itu pun melesat pergi.
Pagi ini lebih cerah dari biasanya, seakan langit membocorkan udara surga ke
bumi. Seperti pagi-pagi yang lalu, aku sudah duduk jigang di warung pinggir
jalan simpang tiga belakang rumahku, menyeduh kopi pahit dan mencumbui rokok
menthol kesukaanku. Lalu lalang pengguna jalan sudah jadi pemandangan yang biasa,
jika ada yang kenal ya saling sapa, kalau tak kenal ya ku lihat cuek dia
berlalu. Disaat seruputan terakhir yang paling nikmat, ada yang menyapaku,
“Hai kawan, tumben wajah gelisahmu tak seperti biasanya.”
“Hai kau, tahu apa kau tentang wajah gelisahku, kau hanya seekor anjing
khafilah yang tinggal di pendopo pendeta agung. Kawan, aku sekarang tak hanya
gelisah yang diam, tapi juga penasaran yang bergerak untuk berusaha menanti dan
mencari seseorang.”
“Augh…… walau aku seekor anjing, tapi anjing yang lebih tahu darimu.
Augh…. Siapa seseorang itu?”
“Dia salah satu orang yang akan menghadiri penyunting jilidan lontar sang
petapa besok malam.”
“Augh…. Pasti seseorang yang membawa petanda untukmu, seseorang yang
sering kudengar dari cerita kegelisahanmu. Tapi, bagaimana kau yakin dapat
menemukan dia?”
“Aku yakin karena kegelisahanku tak pernah meleset, lagi pula aku juga dapat
kabar dari kelelawar semalam.”
“Augh…. Begitu. Baiklah, selamat menunggu, penasaran!”
“Kawan, apa kau tahu tentang dia? Barang kali kau pernah dengar dari tuanmu
atau sang pendeta itu.”
“O, tidak. Augh…. Sudah jangan tanya lagi, percuma aku tak tahu apa-apa
tantang dia. Kalau pun tahu aku tidak akan memberi tahumu. aku pergi dulu,
kawan.”
Apapun yang terjadi, aku yakin kegelisahanku akan menemukan muaranya, dan
penasaranku juga akan terjawab dengan kedatangnya yang memberitahukan patanda
untukku. Walau aku tahu akan ada kegelisahan lain yang muncul setelah itu.
Suasana sore yang cantik berpoles jingga di kaki langit barat yang menelan
matahari, semakain membuatku tak sabar menanti saat-saat itu yang tinggal
semalam. O, begitu romantisnya rasa kegelisahan, penasaran membeku dalam
lamunan yang terindah. Daun jatuh dipelataran pendopo pendeta agung berbisik
padaku sebagai pesan terakhirnya, “Hai orang penasaran. Demi jinggaku sayang,
angin menitipkan salam dari dia padaku untukmu. Semalam nanti dia akan
berangkat dari daratan dengan kereta sarden ke daratan ini.”
Demi waktu jingga yang menghitam, malam yang hitamnya gagah mendekap putih
bulan dan kerlip bintang, aku merasa jabatan tangan telah terjadi bersama pesan
yang disampaikan daun padaku. Seperti malam yang kemarin, aku duduk diatas batu
pinggiran daratan luas, angin menyergap kegelisahan, sepi, yang sendiri. Walau
berkali-kali mendengar cerita kegelisahan yang sama, aku tak merasa jemu,
sampai hari yang ditunggu tiba.
Pekat malam, hitamnya sayang, inilah saat yang ditunggu-tunggu semua orang.
“Gong… gong… gong….” Suara gong menara padepokan, tepat sebelah kiri pendopo
pendeta agung bergema ke seluruh penjuru daratan, sebagai tanda acara
penyunting jilidan lontar sang petapa akan dimulai di pendopo itu. Semua orang
pun berduyun-duyun datang, orang-orang sekitar daratan ini maupun daratan
seberang berkumpul, duduk sama rata bersila tanpa perbedaan. Tepat pada
waktu yang telah ditentukan, Uboh rampe, hidangan di suguhkan dan segala
keperluan disiapkan. Ketika suasana hikmat, acara pun dimulai.
Kehikmatan suasana dalam acara itu membuatku tak nyaman. Aku terus digerus
kegelisahan, penasaran membuatku gusar tak karuan. Ditengah acara yang panjang,
kejenuhan pun menghinggapi sebagian dari mereka yang ada dibarisan belakang,
suasana mulai riuh, lalu melunjak gaduh oleh canda tawa, yang tak membuat
barisan depan kehilangan khusyuknya. Itu sudah wajar terjadi. Kesempatan
bagiku, yang juga di barisan belakang, ikut mengalir kegaduhan canda tawa
mereka sembari mencari tahu tentang seorang pembawa petanda untukku. Kemudian
mereka memberitahukan ku sebuah nama dan orangnya, ya, seseorang yang kumaksud.
Sejenak aku diam, kupandangi saja dia sambil mendengar kegelisahanku
mengiyakan, bahwa dialah sang pembawa petanda. Lalu aku mencari cara, bagaimana
aku bisa mendekatinya. Sekali ku coba melewatinya, untuk mengambil beberapa
cangkir kopi. Tapi masih belum ku dapati caranya. Ku amati lagi, sambil
menikmati kopi dan sebatang rokok. Ya, aku dapat, dan ini pasti berhasil. Aku
yakin. Lalu ku temui cantrik padepokan yang ku kenal baik, yang duduk
bersebelahan dengan dia dan sedikit babibu ku yang ramah, cukuplah jadi alasan.
“Ae… cantrik. Maaf, aku tidak bisa membantu banyak untuk acara ini”
“O, tak apalah. Dengan kehadiranmu pun sudah membantu.”
“Boleh aku diperkenalkan dengan……!?” dengan setengah berbisik,
“O ya, kenalkan, dari daratan seberang”
“Hai, aku Nanda.”
“Kuprit.” Ku sebut namaku di perkenalan yang wajar, lalu jabatan tangan yang
bukan sekedar rasa dari kegelisahan, nyata. Keakraban dari setiap perbincangan
yang mengalir, membuat lupa kekhusyuan acara. Ku tawarkan rokok menthol
padanya, kebetulan juga dia suka.
Waktu terus menggelinding, percakapan kami makin asyik, tak terasa acara pun
usai, suasana jadi gaduh riuh. Ada yang bergegas pamit, ada yang masih ditempat
untuk sekedar beramah tama, membaur keakraban satu sama lain. Yang belum kenal
jadi kenal, yang belum dekat hubungannya jadi lebih akrab. Sedangkan para
cantrik sibuk membereskan seluruh perlengkapan yang telah dipakai, dan
mengemasi barang-barang ketempatnya masing-masing. Aku tak bergegas pulang,
karena masih ada yang harus ku cari, tanda yang dibawa Nanda. Aku turut membaur
ditengah para cantrik yang di pendopo, bersama orang-orang daratan seberang.
Pagi datang, hitam malam lenyap disapu matahari dengan sinarnya. Aku pun
pamit pulang, berjalan gontai, tubuhku lemas, tenaga yang terkuras
begadang semalam bersama para cantrik, ngobrol dengan Nanda. Sesampai di rumah,
aku merasakan kegelisahanku menjerat semakin erat, terasa begitu beda kali ini.
O. aku yakin, inilah kegelisahan lain yang datang, yang sudah aku kira
sebelumnya, kegelisahan baru setelah pertemuanku dengan Ciput. Ah, apa aku ini,
kegelisahan yang bercampur bingung, mencari sesuatu yang belum pernah aku
temui. Ya, aku harus menemui dia kembali untuk memastikan tanda apa yang dia
bawa untukku, aku tak perlu khawatir, dia bilang akan tinggal di daratan ini
beberapa hari, dan semalampun aku sudah sengaja membuat sedikit ikatan emosi.,
dengan membuat janji mengantarkan dia jalan-jalan ke taman pelangi dan
mengarungi telaga endut yang menjadi terkenal di daratan ini.
Saat pagi sebentar siang, aku duduk di teras rumah, aku mendengarkan cerita
dari kegelisahan baruku untuk pertama kali, aku meyakininya sebagai petunjuk
mengetahui tanda yang dibawa orang dari negeri seberang itu, seperti aku
meyakini cerita kegelisahanku sebelumnya. Tapi, keyakinan itu terbentur
kebingungan yang tak jelas arahnya. Untuk apa tanda itu dan bagaimana rupa
tanda itu, tak jelas ku ketahui dari cerita kegelisahanku.
“Hai, orang gelisah!” suara yang tak ku hiraukan, entah siapa dan darimana
suara itu.
“Hai, orang gelisah!” suara itu lebih keras memanggilku, yang menyita
perhatianku.
“Hai, siapa yang memanggilku itu?” balasku.
“Aku, disini, disamping kakimu, ini si lalat yang memanggilmu. Aku
memperhatikanmu sejak tadi, apa sebenarnya yang kau gelisahkan?”
“Eh, kau si lalat. Untuk apa kau bertanya tentang kegelisahanku.”
“barang kali saja aku bisa membantumu untuk mencari jalan keluar dari
kegelisahanmu itu. Aku hanya kasihan saja padamu. Kita hidup saja, sudah susah,
apalagi ditambah dengan kegelisahan yang membuat mandegnya perjalanan kita
meneruskan hidup, ya paling tidak itu menyita, dapat kesia-siaan saja.
Kasihan.”
“Tahu apa kau tentang kegelisahanku, aku takkan memberitahu siapapun tentang
kegelisahanku, dan juga kau. Kau tak perlu berkhotbah tentang hidup didepanku”
“Brrrr…. hai kawan, tak perlu emosi. Aku hanya mengingatkan saja, bahwa
kegelisahan hanya membebani hidup kita saja.”
“O, begitukah pendapatmu tentang kegelisahan. Ku hargai pendapatmu dan
terimakasih kau mengingatkan aku. Tapi sayang, aku tak perlu mendengarkanmu.
Hidupmu saja tak punya warna, bagaimana kau mengerti tentang kegelisahan dalam
hidup. Kau hanya bisa membuat kegelisahan, dengan berseliweran membuat suara
berisik dan hinggapi makanan-makanan setelah kau hinggapi kotoran, jijik.”
“Brrrr…. Wessst. Emosi!? Lalu apa pendapatmu tentang kegelisahan itu
sendiri, sehingga kau anggap itu adalah warna untuk kau torehkan diatas kanvas,
untuk membuat penggalan pesan dalam sejarah hidupmu, agar kau dianggap aktor
sandiwara top, padahal kau tak berarti apa-apa dalam catatan kehidupan, yang
begitu panjang dan melelahkan untuk di eja.”
“Haah… berisik! pusing, pusing kepalaku ini mendengarkan ocehanmu.” Lalu aku
pergi meninggalkan lalat itu.
“Ting tang…. Ting tang…” jam 2 siang, aku bergegas pergi menemui Nanda
untuk memenuhi janjiku. Aih… kesempatan. Ku hampiri dia yang sudah menunggu di
depan gapuro pendopo, siap untuk menjejakkan kaki, menelusuri jalan menuju
taman pelangi dan telaga endut. Langkah demi langkah jejak kami menindih jejak
lama, menghentak tanah seperti membuat prasasti kesaksian pada bumi.
Suara-suara kami ditangkap dengan sigap oleh angin dan dihempaskan ke segala
penjuru lalu di tempelkan di setiap permukaan daun-daun, bagaikan ukiran
dinding goa. Ada warna-warna yang muncul begitu saja menghiasi sayap-sayap
peri, hitam-putih, biru-jingga, merah-ungu bermotif batik seperti kupu-kupu
yang baru bebas dari serat kepompongnya, terlihat begitu indah di taman
pelangi.
Angin berhembus romantis, terasa begitu mesra membelai tubuh kami saat duduk
berdua di tepi danau endut yang nampak berkilau jingga, kejernihan sempurna
memantulkan warna senja. Terbius decak kagum pada alam, demi Tuhan yang telah
menciptakan keindahan dengan guratan-guratanNya yang tak pernah mampu dibaca
sempurna oleh manusia. Cita rasa Sang Maha Indah takkan pernah tertandingi. Di
luas langit, ada puncak rasa-rasa yang terbang bersama burung-burung pipit yang
kembali ke sarangnya diatas pohon. Lelah perjalanan tak mampu menembus kepuasan
rasa pada hati yang disemai bunga oleh peri-peri.
Demi malam yang hitamnya gagah memeluk bulan dan kerlip bintang,
putihnya semakin mempesona, aku antar dia kembali ke pendopo, melepas
lelah semalam lagi sebelum kembali dia pamit. Serabut bayangannya menerobos
mimpi, sungguh ia membuat jaring di sudut ruang, seperti laba-laba hitam
mencuri cela angin-angin kamarku. Malam ini, aku sedang tak ingin duduk diatas
batu. Aku ingin semalam ini hanya dalam kamarku, duduk menghadap kanvas putih
dan mengoleskan warna-warna kegelisahan, yang tak pernah menemukan muaranya. Ku
gambar tanda-tanda itu sebagai penggalan cerita terindah sepanjang suratan
napasku.
Perpisahan setelah pertemuan sudah wajar harus diterima, rela atau
tidak rela, kulepas kepergiannya dengan do’a, kembali ke daratan asalnya. Demi
waktu yang akan berakhir tanpa akhiran, cerita-cerita kegelisahan itu kosong
dan akan tetap sama hingga kegelisahan bertemu muaranya.