Mengelola Risiko Ketidakpastian
Bagi sebagian orang, membahas tentang risiko ketidakpastian selalu identik dengan sesuatu yang bernuansa negatif dan merugikan sehingga harus dihindari dan oleh karenanya kalau memungkinkan bisa direduksi sampai pada level terkecil. Ketidakpastian seolah menjadi
Bagi sebagian orang, membahas tentang risiko ketidakpastian selalu identik dengan sesuatu yang bernuansa negatif dan merugikan sehingga harus dihindari dan oleh karenanya kalau memungkinkan bisa direduksi sampai pada level terkecil. Ketidakpastian seolah menjadi
ancaman bagi individu atau kelompok
karena dianggap mengganggu proses pencapaian kinerja organisasional. Padahal,
kalau disimak lebih jauh, ketidakpastian justru dapat menjadi stimulan untuk
memunculkan pemikiran kreatif yang pada gilirannya dapat mendorong langkah
inovatif bagi suatu organisasi. Coba simak kalau orang bertanya:”Apa yang
mendorong para pebisnis memutuskan tetap menjalankan bisnisnya di Indonesia
walaupun negeri ini seringkali dinilai memiliki tingkat risiko dan
ketidakpastian cukup tinggi dibanding negara-negara berkembang lainnya?”
Bisa ditebak jawabannya, yaitu bahwa ketidakpastian itu adalah “kembang
gula atau pemanis” yang menarik dan bisa mendatangkan “semut-semut”
bisnis. Argumen itu sepertinya hanya relevan bagi mereka yang menyukai
tantangan dan berani mengambil risiko atas suatu pilihan atau keputusan. Bagaimana
pula bagi mereka yang mempunyai preferensi terhadap comfort zone dan
menyukai status quo dalam dalam berbisnis?
Mengelola ketidakpastian memang
sangat dekat dengan risiko yang juga sering dipersepsikan secara sempit sebagai
akibat negatif dari suatu pilihan atau keputusan. Bagi para pebisnis yang
menyukai tantangan, maka risiko yang dikalkulasi (calculated risk)
adalah bagian dari suatu bisnis yang juga perlu mendapat porsi pengelolaan
tersendiri. Tujuannya jelas, yaitu mendapatkan kekuatan (power) yang
besar untuk mengendalikan sumberdaya produktif. Logikanya, dalam kondisi
keterbatasan sumberdaya, maka seseorang akan cenderung mengambil keputusan
berdasar pada tingkat kejelasan sumberdaya dan kestabilan dalam
perolehannya. Ini berarti, para pebisnis yang memiliki kecenderungan
perilaku sebagai risk taker akan selalu mencoba menemukan sumberdaya
alternatif bagi bisnisnya. Sebaliknya, bagi pebisnis yang masuk dalam
kategori risk avoider atau risk averter, maka sangat sulit
baginya untuk menerima kenyataan bahwa risiko yang dikalkulasi sebenarnya
adalah bagian dari proses bisnis yang harus dikendalikannya. Pertanyaannya
sekarang adalah, apakah ada kompromi diantara keduanya. Jika kompromi harus
dilakukan, bagaimana memasukkan aspek-aspek organisasional ke dalam pengelolaan
suatu risiko ketidakpastian dalam bisnis.
Kompromi dalam Mengelola Risiko
Pembicaraan mengenai risiko dapat
berkembang luas mulai dari tingkatan fungsi keuangan sampai pada lingkup
kegiatan yang tidak secara langsung terkait dengan urusan keuangan.
Sebagai ilustrasi, para pebisnis seringkali dihadapkan pada pilihan yang cukup
berat karena menghadapi kenyataan adanya perputaran manajerial (managerial
turnover) yang tinggi dalam lingkup pekerjaannya. Suatu fenomena yang
seringkali dijumpai pada industri jasa keuangan dan perbankan di negeri
ini. Bahkan ada anekdot yang menyatakan bahwa kalau seseorang mampu
bertahan berkerja di suatu perusahaan jasa keuangan lebih dari 10 tahun pada
perusahaan yang sama, maka orang itu memiliki karakter kuat melebihi manusia
langka yang pernah ada di dunia. Sudah barang tentu, anekdot semacam ini tidak
berlaku umum dan dapat terterapkan untuk semua bentuk pekerjaan dan/atau
industri.
Itu sebabnya, untuk mempertahankan
sosok atau figur yang memiliki kapasitas manajerial dan mumpuni dalam mengampu
pekerjaan tertentu, suatu institusi kadangkala harus mengemasnya dengan ragam
bentuk gimmick atau iming-iming untuk menjadikannya menarik sebagai
tempat berkarya. Tidak jarang dijumpai bentuk insentif yang ditawarkan merupakan
paket remunerasi yang mengkombinasi antara pemenuhan kebutuhan dasar dan
aktualisasi diri. Suatu hal yang nampaknya sulit dilakukan, tetapi mulai banyak
diterapkan. Dalam kaitan dengan hal tersebut, ada satu pelajaran menarik
yang dapat diambil dari hasil studinya Carson et.al (2006) yang berjudul
“Uncertainty, opportunism, and governance: The effect of volatility and
ambiguity on formal and relational contracting”, Academy of Management
Journal, Vol. 49., No.5 yaitu bahwa mengelola ketidakpastian sumberdaya
manusia dalam bisnis dapat dilakukan dengan memodifikasi pola kontraktual dalam
suatu ikatan kelembagaan. Hipotesis yang dimunculkan dalam studi tersebut
adalah bahwa pola hubungan kontraktual dalam suatu bisnis akan cenderung lebih
kuat terhadap desakan faktor volatitas dibanding ambiguitas. Sebaliknya, pola
kerja yang berbasis kontrak formal akan lebih tahan terhadap desakan faktor
ambiguitas (ambiguity) dibanding volatilitas (volatility).
Sudah barang tentu, kedua pola hubungan masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangan, dan dalam banyak hal tidak saling menggantikan. Dengan demikian,
kecermatan dalam mengamati situasi akan menentukan tingkatan risiko
ketidakpastian pola kerja yang dipilih.
Pada lingkup yang lebih luas, mengelola risiko ketidakpastian dalam organisasi bisnis membutuhkan dukungan infrastruktur kelembagaan yang bisa diandalkan dan mampu untuk menopang kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan dalam organisasi bisnis. Memang, pengalihan risiko finansial secara terbatas dapat dialihkan kepada perusahaan-perusahaan asuransi atau bentuk lembaga penjaminan lainnya. Situasi berkembangnya bisnis asuransi di Indonesia memang mungkin bisa menjadi salah satu indikator adanya kesadaran baru di kalangan masyarakat dalam mengelola risiko ketidakpastian. Namun, risiko lain yang terkait dengan kegiatan yang sifatnya operasional atau situasi yang mengarah pada perubahan kondisi mental, sosial, dan politikal nampaknya masih membutuhkan upaya integratif sehingga mampu mengkombinasi kemanfaatan moneter yang dijanjikan dengan bentuk lain yang juga bernilai tinggi. Pengelolaan bisnis dengan menggunakan pola portfolio mungkin bisa menjadi satu alternatif. Dengan cara itu, bisa saja terjadi bentuk kegiatan bisnis dikemas dalam format aliansi untuk menghadapi kemungkinan pemunculan faktor ketidakpastian di dalam suatu sektor atau industri tertentu.
Pada lingkup yang lebih luas, mengelola risiko ketidakpastian dalam organisasi bisnis membutuhkan dukungan infrastruktur kelembagaan yang bisa diandalkan dan mampu untuk menopang kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan dalam organisasi bisnis. Memang, pengalihan risiko finansial secara terbatas dapat dialihkan kepada perusahaan-perusahaan asuransi atau bentuk lembaga penjaminan lainnya. Situasi berkembangnya bisnis asuransi di Indonesia memang mungkin bisa menjadi salah satu indikator adanya kesadaran baru di kalangan masyarakat dalam mengelola risiko ketidakpastian. Namun, risiko lain yang terkait dengan kegiatan yang sifatnya operasional atau situasi yang mengarah pada perubahan kondisi mental, sosial, dan politikal nampaknya masih membutuhkan upaya integratif sehingga mampu mengkombinasi kemanfaatan moneter yang dijanjikan dengan bentuk lain yang juga bernilai tinggi. Pengelolaan bisnis dengan menggunakan pola portfolio mungkin bisa menjadi satu alternatif. Dengan cara itu, bisa saja terjadi bentuk kegiatan bisnis dikemas dalam format aliansi untuk menghadapi kemungkinan pemunculan faktor ketidakpastian di dalam suatu sektor atau industri tertentu.
Sebagai penutup, apapun bentuk
keputusan yang akan diambil oleh para pebisnis, rasionalitas terbatas yang
dimiliki mengharuskan seseorang untuk memilih dari segala bentuk opsi yang
menawarkan solusi terhadap situasi ketidakpastian. Itu pula mengapa untuk
memilih lembaga penjaminan mana yang dinilai memiliki kredibilitas tinggi
memang tidaklah selalu mudah. Penggunaan indikator ganda (multiple indicator)
bisa saja dilakukan untuk bisa menentukan peringkat yang diharapkan peringkat
itu mampu menggambarkan kredibilitas yang ditawarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar