Keterasingan
Berubah
atau tidaknya keadaan sosial suatu komunitas sangat ditentukan oleh apa yang
disebut sebagai faktor internal/penghambat maupun faktor eksternal/pendukung.
Faktor internal berarti perubahan itu datangnya dari dalam komunitas itu
sendiri, diantaranya pola-pola interaksi dari yang bersifat tertutup menjadi
terbuka kepada dunia luar, termasuk diantaranya upaya mempertahankan
nilai-nilai kearifan budaya yang telah diwariskan secara turun temurun.
Sedangkan faktor eksternal yaitu hal-hal yang datangnya dari luar diri
komunitas itu seperti kemajuan hidup/modernisasi, asimilasi, kohesi sosial dan
macam rupa hal lainnya, tidak terkecuali yang terjadi pada To Balo.
a.
Faktor Penghambat
Salah
satu faktor yang menyebabkan keterasingan To Balo datangnya dari dalam
diri mereka sendiri. To Balo cenderung tertutup kepada masyarakat luas,
dalam hal ini pada masyarakat Desa Bulo-Bulo sebab kondisi tubuh yang dimiliki
berbeda dengan orang kebanyakan. Dengan demikian, To Balo memiliki rasa
sensivitas yang tinggi bilamana anggota masyarakat lainnya mencibir dan atau
menghina kondisi tubuh mereka yang dianggap sebagai satu kelainan bahkan
penyakit. To Balo berinteraksi dengan masyarakat setempat seperti orang
kebanyakan, namun ketika ada orang yang mengunjunginya, To Balo sangat
tertutup dan kurang bersahabat, tapi apabila orang yang datang berkunjuung
memberikan sesuatu, maka sambutannya ramah.
Ketertutupan
sikap To Balo kepada masyarakat cukup berbeda jika salah satu pejabat
daerah yang mengunjungi mereka. Informasi yang diperoleh dari Kepala Dusun
mengungkapkan bahwa, jika ada kunjungan pejabat kepada To Balo, biasanya
perseorangan dari mereka dipanggil untuk melakukan foto bersama. Tentu saja
sebagai kenang-kenangan pejabat yang bersangkutan telah berpose bersama manusia
belang.
Kedatangan
pejabat biasanya bersama bantuan yang diberikan kepada To Balo, sehingga
kadakala hal itu menyebabkan kecemburuan sosial kepada masyarakat lainnya. Hal
tersebut sebagaimana digambarkan dalam kutipan wawancara sebagai berikut:
Maserro
majallo, tapi sipunge’na iyae kepala desa, de’ naullei pa, idinna pada siappa.
Poko’na isuro-soro bukkai wajunna, assaleng Pak Desa suroi, elo muotu. Biasa
de’ memena nelo. Iga suroka, yatu paling penting yare-yarengngi. Entah agi-agi
kasi talengngi, supaya messi nyawana.iya kaluru toi, aga-aga poko’na. Artinya: Sering
mengamuk, tapi setelah ini Kepala Desa, tidak bisami, karena satu keluarga.
Pokoknya disuruh buka bajunya, yang penting Pak Desa suruhki, mau tonji. Dulu
tidak mau mengtongmi. Siapa suruhka. Itu yang pelang penting ada dikasihki.
Apa-apa kasian kita kasiki, supaya tergugah hatinya, rokok, apa-apa pokoknya
(Wawancara: LD, 1 Juli 2012).
LD
menambahkan pula sebagai berikut:
Yammi
namanutu kasii, yaro NR magatti macai ku tannia ia sibawa desae, ku engka
pemerintah massuro molli’I, apa ri pallusu-lusui, wettunna engka Pa’Malkan,
mengengngi de ulokka bicii , eloi macai, apanna icawai-cawai wettunna
ipalusu-lusui.
Artinya: Ituji NR cepat marah kalo bukan saya dengan pak desa yang pergi panggilki
klo ada pemerintah yang datang, karena dikasi’ telanjang waktunya datang Pak M,
seandainya tidak pergika bisikki, mauki marah, karena diketawaiki waktu dia
buka bajunya (Wawancara: LD, 1 Juli 2012).
Salah
seorang warga Desa Bulo-Bulo menginformasikan bahwa:
Ooh,
manuserro. Nakku taumega kue melori cawa-cawai kasii, naseng yatonaro baloero,
ijamin muna naseng maega bantuang aga riyalenggi narica-cawairo kapang
namasiri, tapi kurilaoi ro bolana tunra, makanja’ma tu. Artinya: Begitu
memang, kalau banyak orang yang ketawaiki kasian, bilangki itu orang balo
dijamin sekali, banyak bantuan dikasiki…na diketawwaiki mungkin namalu-malumi,
tapi kalo dipergiwi rumahnya baikji (Wawancara: NN, 1 Juli 2012).
Berdasarkan
informasi wawancara di atas, dapat dipahami bahwa salah satu faktor yang
menghambat terasingnya To Balo karena sifat tertutup komunitasnya kepada
anggota masyarakat lainnya. To Balo beranggapan bahwa keberadaan orang
lain di sekitar mereka hanya menyebabkan rasa ketersinggungan yang tinggi sebab
merasa terhinakan oleh kelainan kondisi fisik tubuh mereka.
Salah
satu informan menginformasikan bahwa, faktor-faktor yang memungkinkan
keterasingan mereka akibat struktur dan kelembagaan masyarakatnya sudah tidak
seperti yang pernah diamal praktikkan leluhur mereka. Hal tersebut dituangkan
dalam kutipan wawancara sebagai berikut:
Faktorna iyanaritu pole wargae bawang
bantuanna bare’kuammengngi anakku weddingngi botting sibawa pakkampongnge ya de
e nabbalo, tapi ku ciyai kan itu mattaji factor penghamba I, apa de’tona
nawedding anakku botting padapadanna apa makkukkue duamani keluarga nappa iya
keluarga seddie de’gaga anakna nappa de’to nawedding massilessureng botting. Artinya: Faktornya
adalah dari warga sendiri bantuannya agar nanti anakku bias menikah dengan
orang dikampung ini yang tidak belang, tapi kalau tidak mau itumi menjadi
faktor pengambatnya, karena tidak bisa anakku menikah sesamanya karena sekarang
tinggal dua keluarga (To Balo) disini baru keluarga yang satunya tidak
ada anaknya baru tidak bisa saudara menikah dengan saudara (Wawancara: NR, 29
Juni 2012).
Dismaping
itu, tidak adanya kepemimpinan dalam komunitas To Balo sebagai masyarakat
terasing semakin memperburuk kondisi kehidupan mereka. Oleh karena itu,
informan mengemukakan bahwa:
Biasa wettukku mopa monro ku bulue
mabela pole kue, masessaka apa mabela pole pakkampongnge, apa ku melo’ka balui
wassele’ galukku sibawa dare’ku mabela utiwi sibawa ku malasaka atau keluargaku
malasa de’ naullei ipatiwi mabbura ku puskesmas e apa mabelai. Artinya: Dulu
waktuku tinggal di gunung yang jauh dari sini, siksaka karena jauh dari warga
kampong, karena kalau mau saya jual hasil sawah dan kebunku jauh harus saya
bawa atau kalau saya sakit atau ada keluargaku sakit tidak bisa dibawa pergi
berobat karena jauh (Wawancara: NR, 29 Juni 2012).
Bagaimana
pemerintah dan masyarakat melihat keterasingan To Balo sehingga perlunya
kesetaraan hak dan kewajiban sebagai warga negara, terutama dalam hal pelayanan
publik dapat disimak dalam kutipan wawancara sebagai berikut:
Biasami masussa tapi makkukkue
magampanni apa monrona sibawa pakampongge jadi magampanni nalaoika petugas e. Artinya:
Dulu susah tapi sekarang tidak karena saya sudah tinggal dengang warga jadi
gampangmi didatangi sama petugas (Wawancara: NR, 29 Juni 2012).
Berdasarkan
informasi-informasi di atas, maka dapat dipahami bahwa dalam upaya
mempertahankan eksistensi komunitasnya, To Balo membangun jalinan relasi
sosial dalam bentuk perkawinan dengan anggota masyarakat lainnya agar dapat
meregenerasi jumlah anak keturunannya, walaupun budaya/adat istiadat
komunitasnya sudah tidak lagi diamal praktikkan sebagaimana di masa lalu.
b. Faktor Pendukung
Faktor
pendukung keterasingan To Balo tidak saja berasal dari dalam diri mereka
sebagaimana peneliti menyebutnya sebagai faktor penghambat yang bersifat
eksternal telah diuraikan sebelum ini, tetapi juga datang dari luar diri
komunitas, dalam hal ini bersumber dari masyarakat sekitar.
Masyarakat
mencitra ragakan To Balo sebagai orang yang memiliki kelainan fisik dari
orang kebanyakan. Pencitraan tersebut diperburuk hikayat sejarah asal usul To
Balo sebagai hasil dari perbuatan tercela leluhurnya. Hal ini sebagaimana
tergambar dalam kutipan wawancara sebagai berikut:
Kuiya
sibawa tau rikampongngewe de’na magaga apa idi’ to kuewe iyanggap papadani to
biasae Cuma oli’na beda sibawa idi’ maneng, apa yaro oli’na tannyia lasa ja’
oli tapi krn simula jajimi, cuma engkami ku bali kampongnge de’ natarimai, toli
naelle’-ellemi.
Artinya: Kalau saya sama orang kampong disini tidak apa-apaji, karena kita
orang disini menganggap bahwa mereka sama dengan kami cuma kulitnya saja yang
bikin beda, karena kulitnya bukan penyakit kulit tapi karena dari lahir memang
(gen), cuma ada ditetangga kampong tidak menerima mereka bahkan selalu
mengejek-ejek mereka)
Informan menambahkan pula sebagai
berikut:
Iyaro
to baloe makkukkue de’na naonro ku bulue mabela pole kue, lette’ni monro
kutengga-tengga masyarakae, sipoji manemma sibawa taue ku desaewe, makanja’ni
bolana makkukkue, sengna na pake sibawa engkana WC sibawa bujunna ku sedeppe
bolana.
Artinya: Itu To Balo sekarang sudah tidak tinggal di gunung yang jauh dari
sini, mereka sudah pindah ditengah-tengah masyarakat sini, mereka baik dengan masyarakat
desa sini, rumahnya juga sudah bagus sekarang sudah pake seng, sudah ada WC dan
sumur di dekat rumahnya)
Sementara
itu, warga masyarakat lainnya menginformasikan hal serupa sebagai berikut:
Ku
iya utarima mua apa tannyiama lasa ja’ oli nainappa makessimmua lao kuidi yang
penting de’ ipakasirikiwi. Artinya: klau saya, saya terimaji karena bukan sakit kulit
baru baik juga sama kita yang penting tidak dikasih malu). Informan menambahkan
pula: Ku iya uhimbaui lao idi’maneng supaya iyae to baloe pada tatarimai apa
iyae to baloe salah seddi suku ku Indonesia jadi pada idi’mitu wedding
lestarikangngi bare’ de’ nalenynye yasengge to balo ku berru. Artinya:
Berdasarkan
beberapa informasi yang telah di kemukakan di atas, maka dapata dipahami bahwa
keterasingan komunitas To Balo tidak terlepas dari adanya peran
masyarakat dalam mencitrakan To Balo secara negatif, sebagai akibat dari
perbedaan ciri-ciri fisik tubuh yang terdapat pada To Balo. Pencitraan
negatif tersebut pada akhirnya menjadi bahan lelucon masyarakat, ditambah lagi
dengan adanya rasa iri terhadap adanya berbagai bantuan yang diberikan kapada
Pemerintah sebagai rasa keprihatinan manusiawi kepada To Balo.
Masyarakat
mengalami perubahan disebabkan oleh baik faktor-faktor yang bersifat internal
maupun eksternal, berupa material dan nomaterial, terkait satu sama lain
sebagai bagian integratif dari proses perubahan itu sendiri. To Balo
sebagai komunitas terasing tidak terlepas lupa dari proses perubahan sosial
yang sifatnya internal datang dari dalam diri komunitasnya, maupun faktor
ekternal yang datang dari luar diri komunitasnya, dalam hal ini adalah
masyarakat.
Berdasarkan
data yang telah dipaparkan pada hasil penelitian bagian awal tulisan ini,
diketahui bahwa salah satu faktor yang menghambat proses penyesuaian diri To
Balo terhadap lingkungan dan perkembangan sosial yang ada adalah domisili
tempat tinggal mereka yang berada di kaki gunung dan cukup sulit
terjangkau, sedangkan faktor pendukung keterasingannya adalah adanya stigma
negatif berlatar sejarah kepada To Balo oleh masyarakat setempat. Lebih
jauh, apabila dibedakan menurut asal faktor, maka faktor-faktor penyebab
perubahan dapat dibedakan antara faktor-faktor internal dan eksternal.
1.Faktor-faktor eksternal, atau
faktor-faktor yang beasal dari luar masyarakat, dapat berupa: (a) pengaruh
kebudayaan masyarakat lain, yang meliputi proses-proses difusi
(penyebaran unsur kebudayaan), akulturasi (kontak kebudayaan), dan asimilasi
(perkawinan budaya). (b) perang dengan negara atau masyarakat lain, dan
(c) perubahan lingkungan alam, misalnya disebabkan bencana. Dengan demikian,
dalam perspektif ini, dominasi budaya Bugis dan kontak budayanya terhadap
keterasingan To Balo menjadi sebab utama tidak berkembangnya kebudayaan To
Balo.
2.Faktor-faktor internal, merupakan
faktor-faktor perubahan yang berasal dari dalam masyarakat, misalnya (a)
perubahan aspek demografi (bertambah dan berkurangnya penduduk) (b) konflik
antar-kelompok dalam masyarakat (c) terjadinya gerakan sosial dan/atau
pemberontakan (revolusi), dan (d) penemuan-penemuan baru, yang meliputi (1) discovery,
atau penemuan ide/alat/hal baru yang belum pernah ditemukan sebelumny (2)
invention, penyempurnaan penemuan-penemuan pada discovery oleh individu
atau serangkaian individu, dan (3) inovation, yaitu diterapkannya
ide-ide baru atau alat-alat baru menggantikan atau melengkapi ide-ide atau
alat-alat yang telah ada. Terhadap faktor ini, agak sulit mengatakan jika aspek
demografis atau pertambahan jumlah penduduk menjadi sebab keterasingan To
Balo, sebab jumlah mereka yang paten sebanyak sebelas orang dan terus
dipertahankan hingga kini. Namun yang pasti, gerakan atau dinamika sosial
masyarakat setempat mendorong komunitas To Balo semakin tersegregasikan.
Pada
suatu proses perubahan sosial, perilaku individu dan kelompok biasanya menjadi
aspek penting yang perlu diperhatikan karena mempengaruhi dinamika yang ada
terhadap perubahan tersebut. Oleh karena itu, perilaku ini dapat berubah
apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut didalam diri
seseorang/komunitas, layaknya yang terjadi pada komunitas To Balo.
Sehingga ada 3 kemungkinan terjadinya perubahan perilaku pada diri
seseorang/komunitas itu, yakni: (1) kekuatan-kekuatan pendorong meningkat. Hal
ini terjadi karena adanya stimulus-stimulus yang mendorong untuk terjadinya
perubahan-perubahan perilaku. Stimulus ini berupa informasi-informasi
sehubungan dengan perilaku yang bersangkutan (2) kekuatan-kekuatan penahan
menurun. Hal ini akan terjadi karena adanya stimulus-stimulus yang memperlemah
kekuatan penahan tersebut, dan (3) kekuatan pendorong meningkat, kekuatan
penahan menurun. Dengan keadaan semacam ini jelas juga akan terjadi perubahan
perilaku.
Upaya
perubahan sikap dan perilaku ini dapat dilakukan secara personal atau
organisasi kemasyarakat melalui keterlibatan Pemerintah Daerah dalam berbagai
program pengembangan, peningkatan dan pemberdayaan masyarakat. Searah dengan
kesimpulan di atas, maka pembentukan perilaku sosial budaya pada komunitas To
Balo dapat disandarkan pada pendapat Walgito (Asnaeni, 2011: 95), yaitu:
(1) pembentukan perilaku melalui kebiasaan (Conditioning). Dengan cara
membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan, akhirnya akan
terbentuk perilaku yang baik (2) pembentukan perilaku melalui pengertian (insight).
Melalui nilai-nilai dan norma yang dianut warga masyarakat setempat sebagai
standar hidup, dan (3) pembentukan perilaku dengan menggunakan model (modeling).
Nilai-nilai luhur bentuk kehidupan kebudayaan lokal adalah intisari materinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar