Selasa, 27 November 2012

tugas 3 keterasingan


Keterasingan
Berubah atau tidaknya keadaan sosial suatu komunitas sangat ditentukan oleh apa yang disebut sebagai faktor internal/penghambat maupun faktor eksternal/pendukung. Faktor internal berarti perubahan itu datangnya dari dalam komunitas itu sendiri, diantaranya pola-pola interaksi dari yang bersifat tertutup menjadi terbuka kepada dunia luar, termasuk diantaranya upaya mempertahankan nilai-nilai kearifan budaya yang telah diwariskan secara turun temurun. Sedangkan faktor eksternal yaitu hal-hal yang datangnya dari luar diri komunitas itu seperti kemajuan hidup/modernisasi, asimilasi, kohesi sosial dan macam rupa hal lainnya, tidak terkecuali yang terjadi pada To Balo


 a.   Faktor Penghambat

Salah satu faktor yang menyebabkan keterasingan To Balo datangnya dari dalam diri mereka sendiri. To Balo cenderung tertutup kepada masyarakat luas, dalam hal ini pada masyarakat Desa Bulo-Bulo sebab kondisi tubuh yang dimiliki berbeda dengan orang kebanyakan. Dengan demikian, To Balo memiliki rasa sensivitas yang tinggi bilamana anggota masyarakat lainnya mencibir dan atau menghina kondisi tubuh mereka yang dianggap sebagai satu kelainan bahkan penyakit. To Balo berinteraksi dengan masyarakat setempat seperti orang kebanyakan, namun ketika ada orang yang mengunjunginya, To Balo sangat tertutup dan kurang bersahabat, tapi apabila orang yang datang berkunjuung memberikan sesuatu, maka sambutannya ramah.

Ketertutupan sikap To Balo kepada masyarakat cukup berbeda jika salah satu pejabat daerah yang mengunjungi mereka. Informasi yang diperoleh dari Kepala Dusun mengungkapkan bahwa, jika ada kunjungan pejabat kepada To Balo, biasanya perseorangan dari mereka dipanggil untuk melakukan foto bersama. Tentu saja sebagai kenang-kenangan pejabat yang bersangkutan telah berpose bersama manusia belang.

Kedatangan pejabat biasanya bersama bantuan yang diberikan kepada To Balo, sehingga kadakala hal itu menyebabkan kecemburuan sosial kepada masyarakat lainnya. Hal tersebut sebagaimana digambarkan dalam kutipan wawancara sebagai berikut:

Maserro majallo, tapi sipunge’na iyae kepala desa, de’ naullei pa, idinna pada siappa. Poko’na isuro-soro bukkai wajunna, assaleng Pak Desa suroi, elo muotu. Biasa de’ memena nelo. Iga suroka, yatu paling penting yare-yarengngi. Entah agi-agi kasi talengngi, supaya messi nyawana.iya kaluru toi, aga-aga poko’na. Artinya: Sering mengamuk, tapi setelah ini Kepala Desa, tidak bisami, karena satu keluarga. Pokoknya disuruh buka bajunya, yang penting Pak Desa suruhki, mau tonji. Dulu tidak mau mengtongmi. Siapa suruhka. Itu yang pelang penting ada dikasihki. Apa-apa kasian kita kasiki, supaya tergugah hatinya, rokok, apa-apa pokoknya (Wawancara: LD, 1 Juli 2012).

LD menambahkan pula sebagai berikut:

Yammi namanutu kasii, yaro NR magatti macai ku tannia ia sibawa desae, ku engka pemerintah massuro molli’I, apa ri pallusu-lusui, wettunna engka Pa’Malkan, mengengngi de ulokka bicii , eloi macai, apanna icawai-cawai wettunna ipalusu-lusui. Artinya: Ituji NR cepat marah kalo bukan saya dengan pak desa yang pergi panggilki klo ada pemerintah yang datang, karena dikasi’ telanjang waktunya datang Pak M, seandainya tidak pergika bisikki, mauki marah, karena diketawaiki waktu dia buka bajunya (Wawancara: LD, 1 Juli 2012).
       
Salah seorang warga Desa Bulo-Bulo menginformasikan bahwa:

Ooh, manuserro. Nakku taumega kue melori cawa-cawai kasii, naseng yatonaro baloero, ijamin muna naseng maega bantuang aga riyalenggi narica-cawairo kapang namasiri, tapi kurilaoi ro bolana tunra, makanja’ma tu. Artinya: Begitu memang, kalau banyak orang yang ketawaiki kasian, bilangki itu orang balo dijamin sekali, banyak bantuan dikasiki…na diketawwaiki mungkin namalu-malumi, tapi kalo dipergiwi rumahnya baikji (Wawancara: NN, 1 Juli 2012).

Berdasarkan informasi wawancara di atas, dapat dipahami bahwa salah satu faktor yang menghambat terasingnya To Balo karena sifat tertutup komunitasnya kepada anggota masyarakat lainnya. To Balo beranggapan bahwa keberadaan orang lain di sekitar mereka hanya menyebabkan rasa ketersinggungan yang tinggi sebab merasa terhinakan oleh kelainan kondisi fisik tubuh mereka.

Salah satu informan menginformasikan bahwa, faktor-faktor yang memungkinkan keterasingan mereka akibat struktur dan kelembagaan masyarakatnya sudah tidak seperti yang pernah diamal praktikkan leluhur mereka. Hal tersebut dituangkan dalam kutipan wawancara sebagai berikut:

Faktorna iyanaritu pole wargae bawang bantuanna bare’kuammengngi anakku weddingngi botting sibawa pakkampongnge ya de e nabbalo, tapi ku ciyai kan itu mattaji factor penghamba I, apa de’tona nawedding anakku botting padapadanna apa makkukkue duamani keluarga nappa iya keluarga seddie de’gaga anakna nappa de’to nawedding massilessureng botting. Artinya: Faktornya adalah dari warga sendiri bantuannya agar nanti anakku bias menikah dengan orang dikampung ini yang tidak belang, tapi kalau tidak mau itumi menjadi faktor pengambatnya, karena tidak bisa anakku menikah sesamanya karena sekarang tinggal dua keluarga (To Balo) disini baru keluarga yang satunya tidak ada anaknya baru tidak bisa saudara menikah dengan saudara (Wawancara: NR, 29 Juni 2012).

Dismaping itu, tidak adanya kepemimpinan dalam komunitas To Balo sebagai masyarakat terasing semakin memperburuk kondisi kehidupan mereka. Oleh karena itu, informan mengemukakan bahwa:

Biasa wettukku mopa monro ku bulue mabela pole kue, masessaka apa mabela pole pakkampongnge, apa ku melo’ka balui wassele’ galukku sibawa dare’ku mabela utiwi sibawa ku malasaka atau keluargaku malasa de’ naullei ipatiwi mabbura ku puskesmas e apa mabelai. Artinya: Dulu waktuku tinggal di gunung yang jauh dari sini, siksaka karena jauh dari warga kampong, karena kalau mau saya jual hasil sawah dan kebunku jauh harus saya bawa atau kalau saya sakit atau ada keluargaku sakit tidak bisa dibawa pergi berobat karena jauh (Wawancara: NR, 29 Juni 2012).

Bagaimana pemerintah dan masyarakat melihat keterasingan To Balo sehingga perlunya kesetaraan hak dan kewajiban sebagai warga negara, terutama dalam hal pelayanan publik dapat disimak dalam kutipan wawancara sebagai berikut:

Biasami masussa tapi makkukkue magampanni apa monrona sibawa pakampongge jadi magampanni nalaoika petugas e. Artinya: Dulu susah tapi sekarang tidak karena saya sudah tinggal dengang warga jadi gampangmi didatangi sama petugas (Wawancara: NR, 29 Juni 2012).

Berdasarkan informasi-informasi di atas, maka dapat dipahami bahwa dalam upaya mempertahankan eksistensi komunitasnya, To Balo membangun jalinan relasi sosial dalam bentuk perkawinan dengan anggota masyarakat lainnya agar dapat meregenerasi jumlah anak keturunannya, walaupun budaya/adat istiadat komunitasnya sudah tidak lagi diamal praktikkan sebagaimana di masa lalu.

b. Faktor Pendukung
Faktor pendukung keterasingan To Balo tidak saja berasal dari dalam diri mereka sebagaimana peneliti menyebutnya sebagai faktor penghambat yang bersifat eksternal telah diuraikan sebelum ini, tetapi juga datang dari luar diri komunitas, dalam hal ini bersumber dari masyarakat sekitar.

Masyarakat mencitra ragakan To Balo sebagai orang yang memiliki kelainan fisik dari orang kebanyakan. Pencitraan tersebut diperburuk hikayat sejarah asal usul To Balo sebagai hasil dari perbuatan tercela leluhurnya. Hal ini sebagaimana tergambar dalam kutipan wawancara sebagai berikut:

Kuiya sibawa tau rikampongngewe de’na magaga apa idi’ to kuewe iyanggap papadani to biasae Cuma oli’na beda sibawa idi’ maneng, apa yaro oli’na tannyia lasa ja’ oli tapi krn simula jajimi, cuma engkami ku bali kampongnge de’ natarimai, toli naelle’-ellemi. Artinya: Kalau saya sama orang kampong disini tidak apa-apaji, karena kita orang disini menganggap bahwa mereka sama dengan kami cuma kulitnya saja yang bikin beda, karena kulitnya bukan penyakit kulit tapi karena dari lahir memang (gen), cuma ada ditetangga kampong tidak menerima mereka bahkan selalu mengejek-ejek mereka)

Informan menambahkan pula sebagai berikut:

Iyaro to baloe makkukkue de’na naonro ku bulue mabela pole kue, lette’ni monro kutengga-tengga masyarakae, sipoji manemma sibawa taue ku desaewe, makanja’ni bolana makkukkue, sengna na pake sibawa engkana WC sibawa bujunna ku sedeppe bolana. Artinya: Itu To Balo sekarang sudah tidak tinggal di gunung yang jauh dari sini, mereka sudah pindah ditengah-tengah masyarakat sini, mereka baik dengan masyarakat desa sini, rumahnya juga sudah bagus sekarang sudah pake seng, sudah ada WC dan sumur di dekat rumahnya)

Sementara itu, warga masyarakat lainnya menginformasikan hal serupa sebagai berikut:

Ku iya utarima mua apa tannyiama lasa ja’ oli nainappa makessimmua lao kuidi yang penting de’ ipakasirikiwi. Artinya: klau saya, saya terimaji karena bukan sakit kulit baru baik juga sama kita yang penting tidak dikasih malu). Informan menambahkan pula: Ku iya uhimbaui lao idi’maneng supaya iyae to baloe pada tatarimai apa iyae to baloe salah seddi suku ku Indonesia jadi pada idi’mitu wedding lestarikangngi bare’ de’ nalenynye yasengge to balo ku berru. Artinya:

Berdasarkan beberapa informasi yang telah di kemukakan di atas, maka dapata dipahami bahwa keterasingan komunitas To Balo tidak terlepas dari adanya peran masyarakat dalam mencitrakan To Balo secara negatif, sebagai akibat dari perbedaan ciri-ciri fisik tubuh yang terdapat pada To Balo. Pencitraan negatif tersebut pada akhirnya menjadi bahan lelucon masyarakat, ditambah lagi dengan adanya rasa iri terhadap adanya berbagai bantuan yang diberikan kapada Pemerintah sebagai rasa keprihatinan manusiawi kepada To Balo.

Masyarakat mengalami perubahan disebabkan oleh baik faktor-faktor yang bersifat internal maupun eksternal, berupa material dan nomaterial, terkait satu sama lain sebagai bagian integratif dari proses perubahan itu sendiri. To Balo sebagai komunitas terasing tidak terlepas lupa dari proses perubahan sosial yang sifatnya internal datang dari dalam diri komunitasnya, maupun faktor ekternal yang datang dari luar diri komunitasnya, dalam hal ini adalah masyarakat.

Berdasarkan data yang telah dipaparkan pada hasil penelitian bagian awal tulisan ini, diketahui bahwa salah satu faktor yang menghambat proses penyesuaian diri To Balo terhadap lingkungan dan perkembangan sosial yang ada adalah domisili tempat tinggal mereka  yang berada di kaki gunung dan cukup sulit terjangkau, sedangkan faktor pendukung keterasingannya adalah adanya stigma negatif berlatar sejarah kepada To Balo oleh masyarakat setempat. Lebih jauh, apabila dibedakan menurut asal faktor, maka faktor-faktor penyebab perubahan dapat dibedakan antara faktor-faktor internal dan eksternal.

1.Faktor-faktor eksternal, atau faktor-faktor yang beasal dari luar masyarakat, dapat berupa: (a) pengaruh kebudayaan masyarakat lain,  yang meliputi proses-proses difusi (penyebaran unsur kebudayaan), akulturasi (kontak kebudayaan), dan asimilasi (perkawinan budaya). (b)  perang dengan negara atau masyarakat lain, dan (c) perubahan lingkungan alam, misalnya disebabkan bencana. Dengan demikian, dalam perspektif ini, dominasi budaya Bugis dan kontak budayanya terhadap keterasingan To Balo menjadi sebab utama tidak berkembangnya kebudayaan To Balo.
2.Faktor-faktor internal, merupakan faktor-faktor perubahan yang berasal dari dalam masyarakat, misalnya (a) perubahan aspek demografi (bertambah dan berkurangnya penduduk) (b) konflik antar-kelompok dalam masyarakat (c) terjadinya gerakan sosial dan/atau pemberontakan (revolusi), dan (d) penemuan-penemuan baru, yang meliputi (1) discovery, atau penemuan  ide/alat/hal baru yang belum pernah ditemukan sebelumny (2) invention, penyempurnaan penemuan-penemuan pada discovery oleh individu atau serangkaian individu, dan (3) inovation, yaitu diterapkannya ide-ide baru atau alat-alat baru menggantikan atau melengkapi ide-ide atau alat-alat yang telah ada. Terhadap faktor ini, agak sulit mengatakan jika aspek demografis atau pertambahan jumlah penduduk menjadi sebab keterasingan To Balo, sebab jumlah mereka yang paten sebanyak sebelas orang dan terus dipertahankan hingga kini. Namun yang pasti, gerakan atau dinamika sosial masyarakat setempat mendorong komunitas To Balo semakin tersegregasikan.

Pada suatu proses perubahan sosial, perilaku individu dan kelompok biasanya menjadi aspek penting yang perlu diperhatikan karena mempengaruhi dinamika yang ada terhadap perubahan tersebut. Oleh karena itu, perilaku ini dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut didalam diri seseorang/komunitas, layaknya yang terjadi pada komunitas To Balo. Sehingga ada 3 kemungkinan terjadinya perubahan perilaku pada diri seseorang/komunitas itu, yakni: (1) kekuatan-kekuatan pendorong meningkat. Hal ini terjadi karena adanya stimulus-stimulus yang mendorong untuk terjadinya perubahan-perubahan perilaku. Stimulus ini berupa informasi-informasi sehubungan dengan perilaku yang bersangkutan (2) kekuatan-kekuatan penahan menurun. Hal ini akan terjadi karena adanya stimulus-stimulus yang memperlemah kekuatan penahan tersebut, dan (3) kekuatan pendorong meningkat, kekuatan penahan menurun. Dengan keadaan semacam ini jelas juga akan terjadi perubahan perilaku.

Upaya perubahan sikap dan perilaku ini dapat dilakukan secara personal atau organisasi kemasyarakat melalui keterlibatan Pemerintah Daerah dalam berbagai program pengembangan, peningkatan dan pemberdayaan masyarakat. Searah dengan kesimpulan di atas, maka pembentukan perilaku sosial budaya pada komunitas To Balo dapat disandarkan pada pendapat Walgito (Asnaeni, 2011: 95), yaitu: (1) pembentukan perilaku melalui kebiasaan (Conditioning). Dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan, akhirnya akan terbentuk perilaku yang baik (2) pembentukan perilaku melalui pengertian (insight). Melalui nilai-nilai dan norma yang dianut warga masyarakat setempat sebagai standar hidup, dan (3) pembentukan perilaku dengan menggunakan model (modeling). Nilai-nilai luhur bentuk kehidupan kebudayaan lokal adalah intisari materinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar